Senin, 02 Juni 2008

Umpat-AN

PEWARTA WARGA

REPUBLIK MUNAFIK : Pemerintah Menyuap Mahasiswa *

Aksi sogok atau suap kembali dilakukan dan dipamerkan olen Presiden
RI SBY tanpa rasa bersalah dan malu. Setelah menyuap rakyat miskin
dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), giliran menyuap mahasiswa dengan
Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) dalam rangka memyumbat celah
kritisitas mahasiswa peduli rakyat terhadap kebijakan kenaikan harga
BBM bikinan Pemerintah RI yang telah berideologi Kapitalisme Pasar
Dunia.

Dampak kebobrokan melalui suap-menyuap semacam itu sama sekali tidak
diperhitungkan secara moral-mental- intelektual secukupnya terhadap
perkembangan peradaban bangsa di kemudian hari. Apa daya menteri
pendidikan botol (botak tolol) pun membebeki saja perintah
majikannya. Di sinilah kebingungan pemerintah akibat kebijakan yang
mereka bikin sendiri seperti kebingungan si doktor bidang pertanian
yang tidak juga berhasil melawan persoalan pangan nasional, contohnya
nasi aking dan gizi buruk, lantaran beliau mengalami disfungsi
intelektual. Sementara DPR dan MPR sudah tidak memiliki kemampuan
sebagaimana mestinya alias impoten.

Inilah sejatinya salah satu budaya Republik Munafik yang dulu
diperjuangkan dengan harta benda, keringat, air mata, dan darah para
pahlawan bangsa dan jutaan rakyat sebelum dan pasca Proklamasi 17
Agustus 1945. Budaya suap telah dipertegas dan dilestarikan oleh
Pemerintah SBY-JK (2004-2009) dan lembaga tinggi karena sesungguhnya
mereka menyelewengkan visi dan misi luhur perjuangan para pahlawan
prakemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa demi kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.

Dampak Kenaikan Harga BBM dan Pemberian BLT

BLT yang tidak akan pernah bisa meringankan beban hidup rakyat miskin
akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, disikapi sebagian
mahasiswa di beberapa daerah dengan aksi demonstrasi. Demonstrasi
berintikan menolak kenaikan harga BBM, selain ketidakakuratan
perhitungan jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BAPPENAS untuk
kelayakan kategorial miskin dan menerima BLT.

Persoalan kenaikan BBM memang berdampak luas pada sendi-sendi
kehidupan bangsa dan negara. Sebagaimana sifat BBM yang mudah
terbakar, sedikit saja muncul api irasional maka terbakarlah beberapa
wilayah di Republik Munafik. Berbeda jika kenaikan harga terjadi pada
minyak wangi, minyak gosok, minyak oles, minyak rambut, minyak
penumbuh bulu ketiak, dan minyak ikan. Kalau harga minyak rambut
naik, tidak akan menyeret harga minyak gosok, beras, terasi ataupun
harga diri mayoritas orang Indonesia. Belum ada sejarahnya mahasiswa
melakukan aksi protes sampai membakar ban gara-gara harga minyak
rambut mengalami kenaikan yang signifikan.

Tentu saja berbeda dampaknya ketika harga BBM mengalami kenaikan.
Yang pertama merasakan dampaknya adalah para pelaku transportasi;
baik darat, laut maupun udara; baik sopir becak motor maupun sopir
angkutan umum; baik nelayan maupun pengusaha maskapai penerbangan;
baik transportasi manusia maupun sirkulasi barang dan jasa. Persoalan
harga tiket memang tidak akan pernah menjadi bahan pemikiran serius
bagi pemerintah karena pemerintah tidak pernah membeli tiket,
melainkan selalu mendapat jatah dan gratis apabila hendak menggunakan
angkutan berkelas apa pun dan itu merupakan fasilitas cuma-cuma bagi
pemerintah atas nama kepentingan dinas demi kepentingan banyak orang
dan atas nama relasi serta negosiasi perijinan usaha transportasi.

Imbas kenaikan harga BBM terhadap tarif angkutan umum sebesar 20-25 %
(meski pemerintah menaikkan sampai 15 %) jelas lebih terasa membebani
rakyat daripada para pejabat pemerintahan beserta aparaturnya karena
saban hari rakyat menggunakan angkutan umum. Para pejabat beserta
aparaturnya sudah mendapat kendaraan dinas dan jatah BBM pada saat
hendak bepergian ke mana saja, dan diatur berdasarkan Anggaran
Pendapat dan Belanja Daerah/Nasional, belum lagi jika ada jatah (suap
lagi!) dari pemilik SPBU.

Selanjutnya para pelaku industri, yang menggunakan BBM untuk mesin-
mesin produksi dan memiliki tenaga kerja (karyawan/buruh) dalam
jumlah banyak. Himbauan pemerintah agar pemilik industri tidak
melakukan PHK terhadap karyawan bahkan menaikkan uang makan dan
transportasi bagi karyawan/buruh. merupakan sebuah himbauan semena-
mena.

Diakui atau tidak, untuk membangun sebuah pabrik, calon pemilik
pabrik harus mengeluarkan uang ini-itu untuk birokrasi beserta
pungutan siluman, termasuk sisa saham sekian persen dalam kurun waktu
sekian puluh tahun diperuntukkan kepada beberapa birokrat apabila
calon pemilik pabrik tetap menginginkan pabriknya terbangun dan
berproduksi. Belum lagi jika dalam masa pengoperasian pabrik si
pemilik pabrik harus mengeluarkan uang lagi untuk membayar pungutan
liar atas nama apa saja.

Dari situ bisa dibayangkan, dari mulai perijinan hingga pasca
pengoperasian pabrik berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh
pemilik pabrik, ditambah dengan kenaikan harga BBM dan tuntutan ini-
itu dari pemerintah dan aparat, yang tadi disebut sebagai "himbauan
semena-mena" . Akibatnya, harga hasil produksi pun melonjak.

Belum selesai sampai di situ. Pemilik pabrik akan berhadapan dengan
produk-produk impor yang lebih marak dan murah serta mungkin lebih
bermutu, yang pasti juga mendapat jaminan dari pemerintah melalui bea-
cukai. Persaingan jelas lebih menguntungkan pemerintah beserta
aparaturnya secara materi daripada si pemilik pabrik beserta anak
buahnya!

Disusul oleh kalangan pedagang, termasuk penjual minyak keliling RT-
RT. Melonjaknya harga hasil produksi, masih ditambah dengan biaya
transportasi dan pungutan liar di jalan oleh sekelompok oknum dengan
jaminan kelancaran proses distribusi, jelas akan sampai kepada para
distributor serta pedagang kecil. Ingat, tidak ada bisnis yang "no
profit oriented"!

Sementara itu para pembeli akan lebih berhitung lagi mengenai apa
yang harus dan tidak harus dibeli, dan berapa jumlah optimalnya
karena setiap barang telah mengalami "penyesuaian" harga. Kalau
mayoritas pembeli (konsumen) merupakan pelaku-pelaku pungutan liar
atau tukang palak kelas cere, tidak menjadi masalah
dengan "penyesuaian" harga karena uang begitu mudah diperoleh tanpa
susah-payah bekerja. Tapi bagaimana jika mayoritas pembeli adalah
warga negara yang baik-jujur-sungguh- sungguh bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yang tidak menghalalkan secuil pun pungutan siluman
atas nama "seseran", "sampingan" atau "uang rokok" sedangkan gaji
resminya tidak ikut "menyesuaikan" harga? Bagaimana jika produk
tersebut juga berupa jasa, semisal transportasi (angkutan umum)?

Namun persoalan kenaikan BBM tidak akan menjadi persoalan paling
mengenaskan apabila mayoritas penduduk Republik Munafik ini adalah
orang semacam JK atau Aburizal Bakrie dan sejenisnya. Sayangnya,
orang-orang sekelas kedua nama tadi jumlahnya sangat minoritas di
Republik Munafik ini tetapi diberi kekuasaan penuh untuk menyusun
sekaligus melegalkan kebijakan yang berlaku absolut bagi sekitar 200
juta jiwa!

Lagi-lagi rakyat kembali pada posisi "obyek penderita", "korban"
dan "tumbal pemujaan materi". BLT bukan saja singkatan dari Bantuan
Langsung Tunai melainkan Bantuan Langsung Tewas umpama baru naik
sepeda hibahan tapi segera diseruduk konvoi truk tronton berkecepatan
tinggi yang memuat barang-barang dagangan. Apalagi analisis Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menyebutkan bahwa jumlah
penduduk miskin di Republik Munafik ini pada akhir tahun 2008 akan
melonjak sampai angka 41,1 juta jiwa atau 21,92 % dari total jumlah
penduduk (187,5 juta jiwa) pasca BLT.

Yang berikutnya menjadi pertanyaan, apakah penyaluran BLT sudah tepat-
akurat pada sasaran tanpa embel-embel salah data dan kenakalan oknum
di lapangan. Sebab data jumlah penduduk miskin tahun 2005 belum
merupakan data akurat, dan masih harus dibenahi. Namun data kurang
akurat tersebut masih juga dipakai untuk penyaluran BLT tahun 2008.
bila terjadi "permainan uang", siapa yang harus dipersalahkan sejak
semula?

Himbauan Pemerintah Republik Munafik, "Sudah saatnya kita harus
mengencangkan ikat pinggang", sebenarnya tidak perlu. Rakyat sudah
lama mengencangkan ikat pinggang agar perut tetap terasa kenyang
meski lapar begitu buas mengaduk-aduk perut rakyat. Hanya pejabat
beserta rekanannya yang boleh mengendurkan ikat pinggang karena tidak
pernah merasa kenyang dan sudah tidak mempunyai pinggang. Pinggang
rakyat semakin jelas dan tegas terlihat tapi pemerintah sudah
disilaukan oleh kemilau materi dan jaminan hidup nyaman. Pinggang
pejabat beserta rekanannya sudah tidak jelas, sehingga ikat pinggang
sudah tidak diperlukan lagi, apalagi harus dikencangkan.

Dan tidak ketinggalan dampaknya pada mahasiswa. Kenaikan harga BBM
jelas berimbas pada harga kertas, buku, alat tulis, pakaian, makan-
minum, pondokan, transportasi, dan lain-lain. Kenaikan barang dan
jasa yang biasa dipergunakan kalangan mahasiswa belum tentu telah
diantisipasi oleh kenaikan tunjangan dari orangtua setiap hari atau
bulan. Penambahan tunjangan/kiriman dari orangtua tentu saja
tergantung dari pendapatan orangtua.

Bagaimana jikalau tunjangan/kiriman orangtua tidak ikut naik?
Pertama, berpengaruh pada aktivitas belajar mahasiswa, bahkan membuat
mahasiswa tidak berani menambah wawasan keilmuan karena biayanya
naik. Kedua, mahasiswa terpaksa mengorbankan waktu belajarnya untuk
bekerja. Ketiga, memacu tindakan negatif demi memenuhi kebutuhan
hidup mahasiswa, misalnya kriminal, ditributor narkoba, pelacuran,
dan lain-lain. Keempat, putus kuliah alias Drop Out. Maka bukan
mustahil imbasnya adalah PEMBODOHAN akibat tekanan ekonomi yang
bersumber dari kebijakan pemerintah!

SBY yang pernah kuliah hingga mendapat gelar Doktor, pasti mengerti
soal buku dan kisaran harganya. Sedangkan JK justru cocok
mengembangkan bisnisnya dalam industri buku. Tetapi kalau 95 % jumlah
orangtua mahasiswa di Republik Munafik ini berasal dari golongan
ekonomi sekelas JK, kenaikan BBM tidak akan pernah menjadi persoalan
yang harus dipikirkan hingga terpaksa turun ke jalan untuk memrotes
kebijakan pemerintah!

Sangat disayangkan, SBY bisa menangis gara-gara Ayat-ayat Cinta yang
direkayasa dalam film tetapi tidak pernah mampu menangis atas
penderitaan rakuat di depan matanya! Apalah arti tangisan kepada
cerita rekayasa! Tetapi juga apalah arti tangisan terhadap rakyat
jika pemerintah masih saja tidak sadar bahwa kebijakan yang
digelontorkan itu justru semakin menjak rakyat di jurang kemelaratan
paling dalam!

A. Bantuan Khusus untuk Mahasiswa

Recananya, sebanyak 400.000 mahasiswa dari keluarga miskin akan
mendapat Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) sebesar Rp.500.000,-
per semester. Namun kebijakan ini, suka-tidak suka dan logis-tidak
logis, merupakan sebuah kebijakan superaneh.

Sebuah kebijakan superaneh? O iya! Baru pada tahun 2008 ini ada
kebijakan semacam itu di Republik Munafik ini sejak berdirinya pada
17 Agustus 1945 dan dipimpin oleh 6 presiden. Dan, tahun 2008 ini
merupakan tahun-tahun terakhir bagi SBY-JK menikmati kursi eksekutif
periode 2004-2009 karena menjelang pertengahan 2009 atau satu tahun
lagi akan diadakan PEMILU PILPRES periode 2009-2014.

Kalau tidak keliru, ada dua hal yang masih menjadi pertanyaan, yang
tidak jelas antisipasinya.

1. Beasiswa
Beasiswa, entahkah Supersemar yang ternyata bermasalah, entahkah itu
Supersemprul dari perusahaan-perusaha an, atau apa pun, sesungguhnya
selalu mencapai sasaran yang keliru alias tidak tepat/tidak akurat.
Beasiswa yang sampai ke mahasiswa ternyata sebagian diterima oleh
mahasiswa dari keluarga kaya.

Mengapa beasiswa yang seharusnya bisa membantu mahasiswa (dalam
meningkatkan kecerdasannya tapi dari keluarga tidak mampu) itu bisa
meleset, jatuh ke tangan mahasiswa dari keluarga mampu?

Satu jawaban, terfokus pada nilai indeks prestasi komulatif (IPK).
Mahasiswa dari keluarga kaya sudah tidak susah pada persoalan asupan
nutrisi, fasilitas dan dana meningkatkan kecerdasan. Hal ini tentu
saja sangat tidak aneh jika mahasiswa tersebut bisa mencapai IPK yang
bagus. Berbeda dengan mahasiswa dari keluarga miskin, yang serba
terbatas dan terhimpit persoalan "bertahan hidup lebih baik daripada
nafsu belajar tinggi tapi terkena penyakit mag atau mati kurang gizi".

2. Mahasiswa dari Keluarga Miskin

Meski jumlah rakyat miskin lebih banyak daripada mahasiswa dari
keluarga miskin, tetapi belum ada angka yang pasti dan akurat
mengenai berapa jumlah mahasiswa dari keluarga miskin itu. Angka
400.000 mahasiswa dari keluarga miskin itu pun tidak jelas dari
kriteria apa dan data valid dari mana yang diperoleh oleh pemerintah.

Kalau kategori rakyat/penduduk miskin dicampuradukkan dengan keluarga
miskin, sangat tidak logis. Penduduk miskin dalam batasan BPS berada
pada garis kemiskinan Rp.166.697,- /orang/bulan. Kalau penduduk miskin
disamakan dengan orangtua miskin, mana mungkin satu anaknya bisa
sekolah, jangankan menjadi mahasiswa aktif dan sarjana.

Penduduk miskin tidak sama dengan keluarga miskin. Sekarang, rencana,
BKM sebesar Rp.500.000,- per semester diberikan kepada mahasiswa
kurang mampu. Kriteria "kurang mampu" ini masih kurang jelas. Tiba-
tiba muncul angka 400.000 mahasiswa kurang mampu. Dari mana data itu
diperoleh? Apakah akan tepat sasaran seperti beasiswa lainnya yang
ternyata semakin menyenangkan mahasiswa kaya yang berotak pintar?

B. Kebijakan Terburu-buru dari Reaksioner Pemerintah Kehilangan Muka

Satu pertanyaan esensial, yaitu MENGAPA BARU SEKARANG
digelontorkannya BKM. Ada beberapa dugaan sementara.

1. Terburu-buru
Isu kenaikan harga BBM sudah menjadi wacana intelektual, berkaitan
dengan dampak buruk yang kian memurukkan nasib rakyat pasca maraknya
kerakusan para pengelola daerah dan negara dalam tindakan korupsi.
Lantas, ketika isu menjadi bukti, demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa bukan lagi merupakan reaksi atas bukti (kebijakan). Tapi
rupanya pemerintah kaget (karena terlalu nyenyak dalam fasilitas yang
disantuni oleh APBN, dan keuntungan materi yang diraup selama
memerintah!) .

Kalau orang cerdas biasa mengasah kecerdasannya, dan suatu ketika
kaget atau terbangun dari tidur, intelektualitas tetap berjalan
dengan baik. Tidak demikian dengan si doktor, apalagi si pengusaha
arogan itu. Kedua orang ini kaget dan mengalami kebingungan
(kelinglungan? ). Yang langsung muncul di retina mata mereka adalah
rekaman peristiwa Mei 1998. Jelas sejarah Peristiwa 1998 lebih buruk
daripada mimpi buruk disuntik suster ngesot lalu dikejar-kejar pocong
di terowongan Casablanca.

Sementara itu para pembantunya yang dulunya pandai, kini sedang
mengalami kelumpuhan (stroke) intelektual gara-gara terlalu rakus
melahap kolesterol fasilitas, tunjangan, dan "sumbangan wajib tanpa
kuitansi". Tanpa ada program jelas atau planning cerdas-transparan
ketika kampanye 2004 silam, tiba-tiba langsung mengeluarkan kebijakan
BKM. Kalau memang sudah ada planning, BKM sudah segera diberikan
ketika SBY-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden R.I.
Periode 2004-2009. Tapi mengapa baru sekarang keluar setelah
mahasiswa berteriak dan rakyat menjerit gara-gara hangus terbakar
kenaikan harga BBM?

Hebatnya, di Surat Kabar Seputar Indonesia edisi Kamis, 29 Mei 2008,
seorang botol alias Botak Tolol berani menantang, "Saya tidak takut
dengan demo mahasiswa, saya hanya takut kalau ada demo guru." Apakah
dia memang si tolol yang lupa sejarah 1998, ataukah si tolol yang
berani karena keberanian tanpa logika bisa berarti nekat? Yang jelas,
dia hanya jongos pemerintah. Dalam sejarah, kalau jongos sudah berani
sok keminter terhadap majikannya, bakal di-PHK dia! Jadi, harap
maklum jika ada botol berani berkoar begitu seperti kata
peribahasa, "Botol kosong nyaring bunyinya."

2. Reaksioner
Mahasiswa beraksi, turun ke jalan, berdemonstrasi, dan menolak
kebijakan pemerintah yang tidak peduli pada realitas kemelaratan
bangsa. Aksi tersebut terpaksa direspon oleh pemerintah (reaksioner)
karena pemerintah memang kurang intelek sehingga tidak memikirkan
dampak kebijakan kenaikan BBM cenderung menginjak-injak rakyat yang
sebelumnya sudah terjerumus dalam jurang kemelaratan yang sangat
dalam. Sudah terjerumus di jurang kemelaratan paling dalam, masih
juga diinjak-injak. Jelaslah mahasiswa berteriak bahwa tindakan itu
amat-sangat tidak manusiawi!

Sikap pemerintah Republik Munafik ini memang reaksioner sekali.
Kalangan intelek yang direkrut dalam pemerintahan pun telah mengalami
kelumpuhan (stroke) intelektual karena lebih sering (rakus?)
mengonsumsi kolesterol dalam jumlah sangat tinggi. Sehingga, ketika
pemerintah tidak sanggup melakukan AMDAL karena tidak terbiasa
menggunakan logika tapi terbiasa memakai perintah, kalangan
intelektual hasil rekrutmen itu pun tidak mampu berbuat apa-apa alias
impoten!

Reaksi pemerintah atas aksi mahasiswa itu, salah satunya, dengan BKM
alias Bungkam Kepintaran Mahasiswa. Langkah itu diambil seolah-olah
pemerintah peduli. Padahal pemerintah sedang melakukan langkah lain
untuk membungkam aksi mahasiswa yang tidak bisa dibungkam oleh
peralatan mekanis negara (aparat keamanan). SBY-JK sadar bahwa dua
rezim besar di Indonesia akhirnya tumbang oleh aksi agresif
mahasiswa!

3. Suap
Suap alias sogok adalah tindakan yang tidak intelek dan pengkhianatan
terhadap hati nurani. Apa pun alasan penyuapan, pada intinya si
penyuap memiliki sikap tidak profesional- intelek-bermoral . Sekarang
hal tersebut justru dilakukan pemerintah, dan nama suap itu
diperindah dengan istilah malaikat penolong, "Bantuan Khusus untuk
Mahasiswa".

Apa pun bungkusnya, sepotong bangkai pastiketahuan juga. Bukan
masalah bungkusnya, melainkan sebelum dibungkus, aroma bangkai itu
sudah semerbak ke seluruh penjuru tanah air. Rakyat menjerit,
mahasiswa teriak. Tapi, aroma sudah semerbak dan menyesakkan dada,
barulah dibungkus, dan diberikan kepada mahasiswa. Dan benda itu
dipaksakan pula untuk ditelan bulat-bulat oleh mahasiswa. Ironisnya,
kalangan pendidikan tinggi harus memakluminya. "Makan nih, jangan
berteriak lagi, ya, Adik manis," begitu kira-kira bujukan pemerintah.
Bah! Pemerintah macam apa ini! Pendidikan tinggi macam apa pula itu!

Mahasiswa paham bahwa BKM identik dengan suap atau juga upaya untuk
membungkam mahasiswa. Dan malangnya, karena seorang jongos harus
tuunduk pada perintah atasan meski disuruh makan bangkai sekalipun,
sang menteri botol (botak tolol) ikut menyerahkan bungkusan itu
kepada mahasiswa dengan catatan "mahasiswa dari keluarga kurang
mampu" supaya bisa juga dipergunakan untuk membujuk orangtua mereka
yang menangis pilu akibat tekanan ekonomi nasional.

4. Bisnis Simpati demi Mendapat Muka
Berita tentang gizi buruk, nasi aking, bunuh diri akibat himpitan
ekonomi, tidak adanya perbaikan pangan nasional, melonjaknya angka
kemiskinan dan pengangguran, dan kini ditambah lagi kenaikan harga
BBM akibat kalah bersaing (kurang modal atau tidak mampu
bernegosiasi? ) di pasar dunia, mengakibatkan pemerintah Republik
Munafik yang dijalankan oleh seorang doktor dan pengusaha itu semakin
kehilangan muka di depan rakyatnya sendiri.

Karena semakin kehilangan muka, kedua orang itu menginginkan muka
mereka kembali atau mungkin mendapat "muka baru". Maka dilakukanlah
bisnis simpati dengan nama BKM. BKM seolah-olah ungkapan kepedulian
(simpati) pemerintah terhadap beban ekonomi mahasiswa. Dengan
demikian, muka pemerintah bisa kembali terpasang sebagaimana
posisinya dulu.

Akan tetapi doktor yang tidak kualified di bidangnya, dan pengusaha
yang tidak mampu memakmurkan bangsanya dalam penggelontoran kebijakan
berisiko tinggi semacam menaikkan harga BBM bulan Mei 2008 itu justru
dilihat mahasiswa sebagai hasil ketidakcerdasan (mungkin idiot?)
pemerintah. Mahasiswa tidak perlu susah-susah meneliti kebijakan
paling sepele itu. Bahkan bisa jadi, mahasiswa menyerahkan
perhitungan dengan cara pembagian, perkalian dan perkaliantersebut ke
murid SD kelas 6.

Tentu saja SBY-JK tidak sudi kehilangan muka lantaran perhitungan
kebijakan tersebut hanya menjadi soal matematika siswa kelas 6 SD.
Mosok sih hasil pemikiran seorang doktor hanya pantas dihitung ulang
oleh siswa kelas 6 SD? Mosok sih hasil berhitung seorang pengusaha
masih terlalu mudah dikerjakan oleh siswa kelas 6 SD? Mbok yao Adik-
adik mahasiswa bisa menghargai hasil berpikir dan berhitung
pemerintah.

Maka disusunlah anggaran khusus untuk menyelewengkan konsentrasi
mahasiswa dalam sikap solidaritas berbangsa-bertanah air, atau
istilah jalanannya "Duit Damai". Damai sama dengan duit (D = D).
Selanjutnya, seolah hendak memamerkan bahwa pemerintah tetap peduli
terhadap kesusahan hidup mahasiswa, digadailah simpati seharga
Rp.500.000,- per semester yang berlaku sampai SBY-JK tidak duduk di
pemerintahan lagi.

Penanganan persoalan akibat kenaokan harga BBM tidak semudah
membalikkan telapak tangan lalu terlihat bukti penberian jatah BKM
dari Depatemen Pendidikan atasnama Presiden R.I. lengkap dengan kops
negara dan tanda tangan menteri. Mahasiswa dan publik yang kritis
pasti menemukan kejanggalan itu semakin nyata, lantas
bertanya, "Mengapa baru sekarang di saat angka kemiskinan kian
melonjak ditambah beban kenaikan harga BBM?"

C. Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP) dalam Rencana Selanjutnya

Janji-janji soal gratisisasi biaya pendidikan tidak lebih dari
pepesan kosong yang pernah dilahap oleh para pemilih idiot dalam
kampanye PILPRES 2004 silam. Orang-orang berotak rata-rata (tidak
perlu harus cerdas) saja pasti bisa berhitung, berapa sih anggran
pemerintah Republik Munafik ini untuk merealisasikan janji pendidikan
gratis yang dikoar-koarkan oleh tim sukses CAPRES? Tinggal
menggunakan cara perhitungan SD atau SMP, sudah bisa menemukan
hasilnya, yang ternyata PEPESAN KOSONG!

Beasiswa untuk pelajar, program BOS dan entah apa lagi, ternyata
tidak pernah menepati janji pemerintah ketika mereka dan tim
suksesnya dulu berkampanye ke daerah-daerah. Sekali lagi, PEPESAN
KOSONG !

Tiba-tiba sekarang ada BKM, Bantuan Khusus untuk Mahasiswa. Apakah di
Republik Munafik ini jumlah mahasiswa lebih banyak daripada jumlah
pelajar? Apakah cukup mahasiswa saja yang perlu dibantu oleh
pemerintah? Apakah lantaran cuma mahasiswa yang berteriak, turun ke
jalan? Apakah cuma mahasiswa yang mampu melakukan itu?

Nah! Pemerintah SBY-JK pasti akan semakin bingung jika siswa SD, SMP
dan SMA serta SMK pun berdemonstrasi sebagai solidaritas kaum
terpelajar tanpa sekat jenjang pendidikan, khususnya para pelajar
yang sejak SD sudah mengerti jerih-payah orangtua mereka dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga terlebih akibat kenaikan BBM
terhadap sebagian besar harga barang dan jasa. Mungkin para pelajar
itu disponsori langsung oleh orangtua mereka, yang memang sudah
kepayahan menghadapi tekanan ekonomi yang tidak mampu diantisipasi
oleh pemerintah Republik Munafik ini.

Apakah kemudian pemerintah akan melakukan rapat mendadak untuk
memberikan Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP)? Beginilah akibatnya
jika Republik Munafik dipimpin oleh seorang doktor yang kurang
kredibel dan pengusaha yang hanya melulu mencari untung pribadi
semata!

***
Rawabuaya, 29 Mei 2008

*) ditulis oleh mantan mahasiswa yang kini menjadi kader GOLPUT

1 komentar:

Pewarta Warga mengatakan...

ini baru komentar