Selasa, 03 Juni 2008

Profile KH. Maman Imanul Haq Dan Ponpes Al-Mizan

PEWARTA WARGA

KH Maman Imanul Haq Faqih: Ibadah Ritual Tak Cukup Membangkitkan Kemanusiaan

Oleh Nurul H. Maarif

Pengasuh Ponpes Al-Mizan Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, KH Maman Imanul Haq Faqih tak canggung untuk mendakwahkan gagasan keberagamaan melalui kesenian.

Padahal ada Pesantren yang memusuhi kesenian. Katanya seniman itu setan, sedangkan pesantren itu surga, tutur Kang maman, panggilan akrab kiai berusia 34 tahun ini.

Sebab itu, di pesantren yang didirikannya pada 1998 itu, selain mengajarkan kitab kuning dan tradisi khas pesantren lainnya, ia juga mengembangkan berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun modern. Kepada 700-an santrinya, misalnya, ia mengajarkan tari kontemporer, musik, gamelan shalawat bahkan debus.

Kekerasan hanya cukup kita jadikan tontonan menghibur dan sebagai ibrah (teladan, red.) moral, seperti pertunjukan debus itu. Tidak ada korban. Tidak ada yang disakiti, ujarnya mengomentari kesenian debus.

Ini membuat kita berfikir supaya tidak melakukan kekerasan yang sebenarnya pada orang lain, imbuhnya.

Melalui pertunjukan seni, kata Kang Maman, dirinya dan para santri ingin melakukan kritik terhadap ibadah ritual banyak kaum muslim di negeri ini. Menurutnya, ibadah ritual seolah tidak cukup untuk membangkitkan rasa kemanusiaan.

Kalau tadi dipertontonkan pecahan beling atau kaca yang dibasuhkan ke muka, itu sebagai peringatan. Bangsa kita kalau wudhu sudah tidak cukup dengan air, tapi harus dengan beling atau kaca, karena hari ini air sudah tidak bisa masuk ke pori-pori ruhani kita. Banyak orang yang ber wudhu , tapi tidak punya rasa malu. Banyak orang yang ber wudhu , tapi wajahnya masih terlihat kelam dan karatan. Mari kita ber wudhu untuk membersihkan muka-muka kemanusiaan kita, menguatkan tangan-tangan kemanusiaan kita, dan itu semua demi kita, ajaknya.

Bahkan kiai muda kelahiran Sumedang, 8 Desember 1972 ini menyatakan, pesantren harus mampu mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya. Kalau bisa, imbuhnya, pesantren harus menyusun strategi kebudayaan.

Ini sebagai ikhtiar menerobos ide-ide untuk mempertemukan sejumlah pemikiran yang emansipatif, eskploratif, dan membumikan nilai keberagamaan dalam konteks kemanusiaan, katanya suatu ketika dalam acara Halaqoh Budaya Pesantren dan Seni Tradisi: antara Relasi dan Hegemoni , di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat.

Tentang group gamelan shalawatnya yang dinamai Qi Buyut misalnya, alumni Ponpes Bantar Gedang, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Raudlotul Mubtadi in Pekalongan Jawa Tengah, dan Ponpes Ar-Raudloh Tambak Beras Jombang Jawa Timur ini mengungkapkan, nama itu diambilnya dari kosa kata Arab.

Qi Buyut itu dari bahasa Arab. Qi terambil dari kata waqa yaqi yang artinya jaga. Dan buyut artinya rumah. Jadi maksudnya, jagalah rumah hati, rumah kemanusiaan, rumah agama dan sebagainya, katanya. Qi Buyut ini personilnya adalah santri seniman, tambahnya.

Yang menarik, melalui seni ini, ia mampu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Penghayat Kepercayaan, Jemaah Ahmadiyah dan sebagainya, tanpa ada sekat apapun. Ini tak lain karena seni atau budaya mampu melembutkan kekakuan sikap dan menampilkan penghargaan terhadap perbedaan.[]

*Suplemen WI di Majalah Gatra

Lokasi

Kabupaten Majalengka, yang menjadi salah satu wilayah pelaksanaan program ini terletak berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat. Perjalanan dari Jakarta menuju Majalengka dengan transportasi umum menempuh sekitar sembilan jam. Kabupaten Majalengka merupakan perlintasan transportasi antarprovinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah melalui jalur selatan. Kota Majalengka bukanlah kota besar seperti Jakarta atau Bandung. Bahkan melihat kondisi fisik kota Majalengka, tampaknya masih lebih maju daripada Kota Bogor. Melihat fisik bangunan di Kota Majalengka, muncul kesan bahwa kabupaten Majalengka adalah kota kecil yang bersahaja. Di sana tidak akan ditemui gedung pencakar langit. Bahkan kota tidak semarak oleh jajaran mall-mall atau pusat perbelanjaan seperti di kota-kota lain. Namun begitu, kota kecil ini cukup bersih.

Dengan menaiki bus dari Jakarta ke jurusan Cirebon, kita akan melintasi kecamatan Jatiwangi, lokasi Pondok Pesantren Al Mizan. Tepatnya di Desa Ciborelang. Kecamatan Jatiwangi termasyhur dengan industri genteng. Meski demikian, industri ini tidak kemudian menjadikan Majalengka menjadi kota dengan kesejahteraan di atas rata-rata dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Dengan kondisi demikian dan juga kondisi alam pegunungan, akses telekomunikasi juga menjadi terbatas. Bahkan di salah satu pesantren yang peneliti kunjungi, wilayah tersebut belum dijangkau jaringan Telkom. Hal ini disebabkan karena jauhnya jarak pesantren dari jalan utama. Akses internet hanya dapat ditemui di pusat Kota Majalengka yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dan hanya memiliki jumlah unit komputer terbatas, yaitu sekitar 10 komputer per warnet.

Pondok

Pendirian Pondok Pesantren Al Mizan berawal dari keinginan luhur keluarga Haji Muhammad Kosim Fauzan dan istri, Hj. Ummi Kultsum, untuk mengembangkan dakwah Islam sekaligus menjadi benteng akidah umat dari kecenderungan materialisme di masyarakat dan dekadensi moral di kalangan generasi muda. Keinginan luhur ini dimanifestasikan dengan dibangunnya Masjid dan Madrasah Diniyah (MD) serta mengirimkan putera-puterinya ke pondok-pondok pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karena keinginan tersebut mulai menampakkan hasil dan respons masyarakat pun baik, maka pada tahun 1992 dirintis berdirinya Taman Kanak-Kanak Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran (TKA-TPA) oleh (Alm.) KH. Muhammad Taufiq Firdaus dengan jumlah siswa/i ± 200 orang, dan Al-Hamdulillah sampai saat ini lembaga tersebut semakin berkembang dan maju.

Tidak lama sesudah berdirinya TKA-TPA yaitu sekitar tahun 1995, tak jauh dari rumah Haji Muhammad Kosim Fauzan dirintis berdirinya Majlis Ta’lim ibu-ibu, Shalat Jumat, dan Pengajian Santri Kalong oleh KH. Maman Imanulhaq Faqieh dan KH. Ahmad Fauzi dengan nama Ath-Thoyyibah. Baru tahun 1999 pengajian tidak hanya diperuntukkan bagi santri kalong (santri yang hanya mengaji saja dan setelah itu pulang ke rumah/tidak tidur di pesantren), akan tetapi mulai menerima santri pelajar yang mukim (mondok) di Al Mizan, yaitu dengan jumlah santri/siswa 50 orang. Kemudian di tahun ini pula dibentuk Pengajian Muhasabah di beberapa kota di Jawa Barat dan SII (Studi Islam Intensif) yang kesemuanya itu diprakarsai oleh KH. Maman Imanulhaq Faqieh, ustadz Ramdhan, dan Pak Hamdan. Untuk memenuhi legalitas formal, maka pada tahun 2000 dihadapan Notaris Nono Subarno, SH dibentuklah Badan Penyelenggara Pendidikan di Al Mizan yaitu dengan nama Yayasan Al Mizan dengan moto: “Mengibarkan Panji Cinta Sejati dan Persaudaraan Abadi.”

KH. Maman Imanulhaq Faqieh sebagai pengasuh pondok pesantren merupakan sosok yang unik. Beliau akrab dipanggil dengan sebutan Kang Maman. Dengan pandangan progresif, beliau juga tetap mempertahankan tradisi. Kang Maman terkenal sebagai sosok yang moderat. Beliau bersama pesantren berupaya dalam mempromosikan nilai-nilai pluralisme, yang tentunya masih sangat langka di Kabupaten Majalengka, yang adalah kota kecil yang cenderung terisolasi, begitulah pengakuan Kang Maman. Meski menurut Pak Arif, staff pengajar di Al Mizan, Kang Maman seringkali mendapatkan pertentangan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan Kang Maman, namun usaha Kang Maman untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian tidak pernah surut. Penentangan tersebut biasanya berasal dari kelompok-kelompok Muslim tertentu yang cenderung kepada fundamentalis, yang menurut Pak Arif, cukup solid di Majalengka. Untuk mempromosikan nilai-nilai pluralisme dan perdamaian, Kang Maman menggunakan jalur seni dan dialog. Di pesantren seringkali diadakan pementasan seni seperti, gamelan dan juga barongsai.

Selain itu, dialog antaragama sudah beberapa kali diadakan di pesantren. Pesantren sering pula kedatangan tamu-tamu yang berasal dari tokoh-tokoh nasional seperti Ibu Santi Nuriah Abdurrahman Wahid, Ratna Sarumpaet dan lain-lain, bahkan tokoh asing seperti Martin van Bruinessen.

Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut di kalangan santri, Kang Maman melakukannya dengan melibatkan santri sebagai panitia dalam even-even besar di pesantren. Dari situ santri akan bertanya-tanya dan menemukan jawaban, mengapa dialog antaragama diperlukan dan bagaimana pentingnya menjalin harmoni antarpemeluk agama yang berbeda-beda. Hal ini diakui oleh seorang santri yang juga menjadi staff di yayasan Al Mizan, menurutnya, awalnya ia merasa aneh dengan yang dilakukan Kang Maman, akan tetapi setelah ia melihat dan terlibat langsung, baru ia mengerti. Sama halnya dengan Yanti dan Wahyu dua santri Al Mizan, mereka tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang menghalangi mereka untuk dapat berinteraksi dan bekerjasama. Bahkan saat ini, di pesantren ada seorang guru bahasa Mandarin yang beragam Budha dari etnis Tionghoa yang mengajarkan bahasa Mandarin.

Mengenai sistem pembelajaran, Pondok Pesantren Al Mizan adalah pondok pesantren plus yang tidak hanya menyelenggarakan pendidikan pesantren, seperti pengkajian kitab kuning, tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Santri Al Mizan diberi kebebasan untuk memilih dimana mereka akan bersekolah. Akan tetapi, mayoritas memilih untuk sekolah di sekolah yang dikelola oleh pesantren. Siswa-siswa yang bersekolah di sekolah tesebut tidak seluruhnya mukim di pesantren, dan mereka notabene berasal dari masyarakat sekitar pesantren. Sekolah yang dikelola pesantren dari TK sampai MTs menginduk ke Departemen Agama. Sedangkan untuk SMU, menginduk ke Departemen Pendidikan Nasional. Aktivitas belajar di sekolah dilaksanakan sejak pagi hingga sore hari, seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Sedangkan pengajian kitab dilaksanakan setiap selesai sholat maghrib dan setelah sholat shubuh.

Santri Pondok Pesantren Al Mizan terdiri dari santri mukim dan non mukim. Santri mukim berarti santri yang tinggal di kobong/asrama pesantren. Akan tetapi, santri-santri yang menetap di kobong tidak selalu santri yang bersekolah formal di sekolah yang diselenggarakan oleh pesantren. Beberapa santri memilih untuk sekolah di luar pesantren. Mengenai hal ini, pesantren sama sekali tidak merasa berkeberatan apabila santri lebih memilih bersekolah di luar. Santri yang bersekolah di luar sama sekali tidak dibedakan dengan santri lain. Mereka tetap wajib mengikuti kegiatan pesantren dan berkesempatan terlibat dalam event-event yang diorganisir oleh pesantren. Jumlah santri yang menetap di asrama adalah sebanyak 51 orang, yang terdiri dari 28 laki-laki dan 23 perempuan. Jumlah santri yang tidak mukim lebih banyak dari jumlah tersebut di atas. Komposisi santri tidak mukim terdiri dari murid-murid sekolah formal dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Diniyah (MD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) yang jumlah nya 336 siswa. Terdiri dari 122 siswa Madrasah Diniyah, 45 siswa Raudhatul Athfal, 59 Siswa TK-TPA, 184 siswa MTs dan 36 orang siswa SMU.

Meski ada dari sebagian masyarakat yang kontra terhadap ide-ide Al Mizan, tetapi hubungan pesantren dengan masyarakat pada umumnya baik. Dan belum pernah ada santri yang ditarik dari pesantren karena ide-de yang dipromosikan oleh pesantren. Pesantren seringkali mengadakan kegiatan dengan mengundang masyarakat. Selain itu, majelis ta’lim yang diadakan di pesantren juga mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat. Setiap pengajian yang diadakan, masyarakat yang hadir mencapai 50-150 orang. Sistem pendidikan di Pesantren Al Mizan juga diakui baik oleh masyarakat. Bahkan menurut ibu Widya yang menyekolahkan anaknya di RA Al Mizan, RA Al Mizan adalah RA terbaik di Ciborelang. Sehingga ia tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya di sana.

Seringkali kualitas suatu lembaga pendidikan dihubungkan dengan latar belakang pendidikan guru-gurunya. Guru-guru di Pesantren Al Mizan yang jumlahnya 40 orang mayoritas lulusan perguruan tinggi, baik D1, D3, S1 dan S2 dari berbagai bidang. Untuk infrastruktur bangungan, sebetulnya bangunan sekolah di Al Mizan masih sangat terbatas. Sehingga, kegiatan belajar mengajar tidak selalu dilakukan di dalam kelas, tetapi juga di masjid ataupun di bawah pohon. Begitupula dengan perpustakaan. Perpusatakaan di pesantren memiliki jumlah buku yang sangat minim sekali. Hingga saat ini pesantren masih belum memiliki laboratorium, baik itu laboratorium IPA, bahasa maupun komputer. Komputer yang diperuntukan untuk siswa baru berjumlah 2 unit. Sehingga siswa dalam mempelajari komputer lebih kepada teori dan belum sampai praktik. Padahal santri sangat berpotensi dan ingin sekali menguasai keahlian komputer. Sehingga mereka akan sangat bersyukur ketika ada pihak yang mau memberikan bantuan internet ke pesantren.

Mengenai hubungan dengan pemerintah, pesantren Al Mizan melakukan kerjasama-kerjasama baik dalam penyelenggaraan pendidikan, yang dilakukan dengan Depag, maupun dalam hal agribisnis. Pesantren pernah mendapatkan bantuan dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berupa peternakan dan bibit jambu merah, yang sekarang akan dikembangkan untuk produksi jus jambu merah, yang arealnya sudah dipersiapkan. Dalam hal ini, pesantren tidak hanya melibatkan pihak-pihak yayasan saja, tetapi juga santri. Pesantren mengirim dua santrinya untuk mengikuti pelatihan pembuatan jus jambu merah yang diselenggarakan oleh Departemen Koperasi dan UKM. Selain itu pesantren juga pernah bekerja sama dengan Departemen Pemberdayaan Perempuan untuk mengadakan pelatihan kesetaraan jender.

Pesantren Al Mizan memiliki dua sumber pembiayaan utama yaitu Rumah Makan Langen Sari milik pendiri pesantren Haji Muhammad Kosim Fauzan dan Hj. Ummi Kultsum. Sumber kedua adalah dari pribadi pengasuh pesantren KH. Maman Imanulhaq Faqieh. Beliau membiayai keseluruhan operasional SMU Islam Al Mizan, yang para siswanya tidak ditarik biaya sekolah/gratis. Untuk MTs, pembiayaan operasional selain berasal dari sumber-sumber tersebut di atas, pesantren mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Senin, 02 Juni 2008

ULASAN BUKU

MATI DI LUMBUNG SENDIRI

(IRONI SEBUAH NEGERI)

Oleh. Asep Mansyurudin


Judul : Ironi Negeri Beras

Penulis : Khudori

Penerbit : Insist Press

Cetakan : Juni 2008

Tebal : xvi + 366 Halaman

Ukuran : 19 X 21 cm

Kedaulatan pangan adalah kata yang setiap kali dibaca dengan terbata-bata dalam upacara-upacara besar negara. Kata yang masih samar kita definisikan dalam pikiran apalagi dalam tindakan, tepatnya masih berupa sesuatu yang ada dalam imajinasi setiap orang di negara ini. Namun, apakah kedaulatan pangan sudah dirasakan oleh dan untuk diri kita sendiri? Atau, kedaulatan pangan hanya sebagi slogan semata?

Bahwa kedaulatan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat; begitulah yang termaktub dalam pertimbangan peraturan pemerintah tentang ketahanan pangan (PP No 68 Tahun 2002).

Sehingga pemerintahpun menyokong Deptan dengan mengalokasikan dana sebesar Rp. 8,7 milyar untuk menggenjot produktivitas pangan terutama beras di Indonesia dari 54.40 Juta ton menjadi 58,18 Juta ton untuk tahun 2007 atau naik sebesar 5% dari tahun 2006, presiden merasa yakin pertumbuhan ini dapat tercapai dengan dukungan semua pihak. Dan Deptanpun menyusun lima program unggulan : subsidi benih, pengembangan tata air mikro, rehabilitasi jaringan tingkat usaha tani, jaringan usaha irigasi desa, pembuatan sawah baru dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. (Khudori, 2008: 48-49).

Beras Sebagai Komoditi Pokok Pangan

Mengapa beras menjadi komoditas pokok pangan masyarakat Indonesia? Beras dianggap sebagai bahan pokok pangan memiliki nilai yang sangat tinggi dan dari sisi gizi sert nutrisi beras memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan pokok pangan lain, sebab beras mengandung banyak kandungan yang dibutuhkan oleh tubuh seperti kalori yang mencapai 360 kalori per 100 gr, 6,8 gr per-100 gr protein dan lemak yang hanya 0,7 gr per-100 gr. Karena kelebihan inilah yang memungkinkan masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pokok pangan paling banyak dikonsumsi.

Beras juga merupakan komoditi yang sangat penting bukan saja di Indoensia bahkan di dunia, beras merupakan pangan pokok bagi lebih dari 3 milyar penduduk dunia paling tidak bagi sebagian beras penduduk di Asia. Beras adalah komoditas pangan yang mencakup 22,7 % dari luar pertanaman atau 28,8% dari luas pertanaman biji-bjian di dunia.

Beras juga di tanam di lebih dari 122 negara terutama di negara-negara Asia. Sebaran tanam di negara-neagra Asia ini merata dari wilayah tropis dan wilayah sub tropis. Dalam beberapa tahun ke depan posisi penting ini tidak akan berubah, bahkan FAO memperkirakan konsumsi beras akan mencapai lebih dari 420 juta ton untuk 4,5 milyar lebih jiwa.

Masyarakat Indonesia hampir di semua lapisan masyarakatnya memilih beras sebagai bahan pokok pangan tanpa terkecuali. Konsumsi beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia kini mencapai 97-100% padahal pada tahun 1954 konsumsi beras baru mencapai 53,5% saja, hal ini disebabkan sebagian masyarakat masih mengkonsumsi bahan pangan lain seperti sagu, ubi dan jagung. Namun setelah Inpress Nomor. 14 tahun 1975 tentang perbaikan menu makanan rakyat yang kemudian disempurnakan dengan Inpress Nomor. 20 tahun 1979. Kini, masyarakat Indonesia sudah berevolusi dengan mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok, hanya 3% saja yang masih mengkonsumsi bahan pangan selain beras.

Berkat rekayasa negara inilah secara dramatis pola keanekaragaman konsumsi bahan makanan yang berbasis konsumsi makanan lokal bergeser menjadi satu jenis pangan yakni beras. Pergeseran ini terjadi seiring keberhasilan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984.

Ironi Sebuah Negeri

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kapasitas produksi gabah di tahun 2007 yang sebesar 58,18 juta ton, menjadi bagian negara utama dan terpenting produsen beras di Asia. Dengan tingkat pertumbuhan produksi dalam kisaran 2,5-5% pertahun Indonesia selayaknya menjadi negara yang kaya akan pangan pokok terutama beras.

Rentang waktu pasca reformasi politik di Indonesia justru menjadi titik balik bagi masyarakat yang selama ini terlena dan dininabobokan dengan iklim kehidupan politik dan ekonomi Orde Baru, hal ini dibuktikan dengan meningkatya volume impor bahan pokok pangan seperti beras sebagai gambaran bisa dilihat dalam buku ini tabel 2.7 hal.35.

Jika pada tahun 1965 total 8,8 juta ton beras, volume impor beras hanya 9% atau setara dengan 819.000 ton beras, dan hal ini terus melonjak bahkan sampai pada tahun 1998 total impor beras Indonesia mencapai 7,1 juta ton beras atau setara dengan 22,8% dari total suplai beras nasional.

Dengan rata-rata volume impor yang di atas 3 juta ton pertahun memilki kecenderungan Indonesia menjadi negara yang sudah tidak lagi mampu berswasembada beras meski pada rentang tahun 2004-2005 memiliki kecenderungan adanya peningkatan bahkan surplus, namun hal tersebut justeru tidak membuat negara ini berhenti mengimpor beras bahkan membuka peluang-peluang baru bagi sektor swasta untuk mengimpor beras yang menyebabkan kehidupan petani semakin sulit.

Realitas inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara pengahasil beras namun tidak dapat menngangkat kesejehteraan masyarakatnya, hal ini dibuktikan dengan lebih dari 36 juta masyarakat miskin yang penghasilannya kurang dari 2 dollar US. Bahkan Posman Sibuea menggambarkan bahwa, jumlah warga miskin hampir 109 juta—dengan pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari—dan sekitar 70 persen di antaranya petani di pedesaan (Bank Dunia, 2006). Patut diduga, jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dan busung lapar akan bertambah. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di masa datang kian merosot. UNDP menyebut, IPM Indonesia tahun 2007 di urutan ke-107 dari 177 negara, lebih rendah dari Vietnam (posisi 105).

Ironi sebuah negeri, maka tak perlu heran jika pemerintah mengekspos Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas/FIA) Nasional pada tahun 2005, dari sekitar 265 kabupaten di Indonesia, 100 di antaranya masuk kategori rawan pangan utama. Wajar jika banyak orang terperangah mendengar terjadi rawan pangan di beberapa kabupaten surplus pangan.

Buku ini ditulis oleh seorang sarjana ilmu tanah yang rajin menelisik politik pangan terutama beras sedikit banyak dibuktikan dengan beberapa aktifitasnya dalam ranah pangan terutama beras serta beberapa tulisannya yang tersebar di beberapa media nasional yang mengulas banyak hal tentang pangan terutama beras. Salah satu tulisannya yang berjudul Ekonomi Politik Beras dimuat harian Kompas, 5 januari 2006.

Tak heran apabila buku ini sangat sarat dengan data-data penting mengenai beras, sebagai bahan pokok pangan masyarakat Indonesia. Apabila kita lihat struktur buku ini juga terbilang lengkap karena pembaca akan dibantu oleh beberapa tabel dan data yang cukup banyak meskipun untuk orang yang awam dalam arti tidak memiliki kemampuan membaca data-data statistik mungkin tidak akan cukup memberikan gambaran yang utuh.

Buku ini cukup unik menurut saya karena dalam setiap akhir bab dilengkapi dengan pekerjaan rumah atau keterangan-keterangan yang mengarah pada agenda-agenda berasma untuk memperbaiki keadaan yang telah dibeberkan sebelumnya salah satu bagian yang menurut saya sangat penting untuk dibaca setiap orang tidak hanya stakeholder saja.

Buku ini mengupas hal-hal yang mencakup sosial, ekonomi, budaya dan sejarah akan beras. Seperti terlihat dalam penyusunan struktur dalam buku ini yang di awali oleh sejarah tentang beras. Dalam Bab I sampai Bab III sejarah dikupas oleh penulis mulai dari jejak sejarah beras sebagai tanaman budidaya, jenis-jenis beras yang dibudidayakan, jejak Revolusi Hijau, proses penciptaan dan kreasi berlatar budaya tradisi seputar padi, sayang bab ini tidakdilengkapi gambar jenis-jenis padi yang disebutkan. Seputar ekonomi dan bisnis beras, sampai politik beras dan anatomi petani beras dihadirkan dalam buku yang memiliki ketebalan lebih dari 300 halaman, buku yang cukup melelahkan apabila dibaca terus-menerus. Namun buku ini cukup penting untuk dibaca dan dimiliki oleh pemegang kebijakan, pemerhati masalah pangan, dosen, peneliti, mahasiswa, aktivis lingkungan, maupun pebisnis. Sebab buku ini mengulas secara utuh sisi-sisi beras sehingga pembaca memiliki gambaran yang cukup luas berkitan erat dengan pangan berikut dinamika yang menyertainya.

Umpat-AN

PEWARTA WARGA

REPUBLIK MUNAFIK : Pemerintah Menyuap Mahasiswa *

Aksi sogok atau suap kembali dilakukan dan dipamerkan olen Presiden
RI SBY tanpa rasa bersalah dan malu. Setelah menyuap rakyat miskin
dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), giliran menyuap mahasiswa dengan
Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) dalam rangka memyumbat celah
kritisitas mahasiswa peduli rakyat terhadap kebijakan kenaikan harga
BBM bikinan Pemerintah RI yang telah berideologi Kapitalisme Pasar
Dunia.

Dampak kebobrokan melalui suap-menyuap semacam itu sama sekali tidak
diperhitungkan secara moral-mental- intelektual secukupnya terhadap
perkembangan peradaban bangsa di kemudian hari. Apa daya menteri
pendidikan botol (botak tolol) pun membebeki saja perintah
majikannya. Di sinilah kebingungan pemerintah akibat kebijakan yang
mereka bikin sendiri seperti kebingungan si doktor bidang pertanian
yang tidak juga berhasil melawan persoalan pangan nasional, contohnya
nasi aking dan gizi buruk, lantaran beliau mengalami disfungsi
intelektual. Sementara DPR dan MPR sudah tidak memiliki kemampuan
sebagaimana mestinya alias impoten.

Inilah sejatinya salah satu budaya Republik Munafik yang dulu
diperjuangkan dengan harta benda, keringat, air mata, dan darah para
pahlawan bangsa dan jutaan rakyat sebelum dan pasca Proklamasi 17
Agustus 1945. Budaya suap telah dipertegas dan dilestarikan oleh
Pemerintah SBY-JK (2004-2009) dan lembaga tinggi karena sesungguhnya
mereka menyelewengkan visi dan misi luhur perjuangan para pahlawan
prakemerdekaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa demi kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.

Dampak Kenaikan Harga BBM dan Pemberian BLT

BLT yang tidak akan pernah bisa meringankan beban hidup rakyat miskin
akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, disikapi sebagian
mahasiswa di beberapa daerah dengan aksi demonstrasi. Demonstrasi
berintikan menolak kenaikan harga BBM, selain ketidakakuratan
perhitungan jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BAPPENAS untuk
kelayakan kategorial miskin dan menerima BLT.

Persoalan kenaikan BBM memang berdampak luas pada sendi-sendi
kehidupan bangsa dan negara. Sebagaimana sifat BBM yang mudah
terbakar, sedikit saja muncul api irasional maka terbakarlah beberapa
wilayah di Republik Munafik. Berbeda jika kenaikan harga terjadi pada
minyak wangi, minyak gosok, minyak oles, minyak rambut, minyak
penumbuh bulu ketiak, dan minyak ikan. Kalau harga minyak rambut
naik, tidak akan menyeret harga minyak gosok, beras, terasi ataupun
harga diri mayoritas orang Indonesia. Belum ada sejarahnya mahasiswa
melakukan aksi protes sampai membakar ban gara-gara harga minyak
rambut mengalami kenaikan yang signifikan.

Tentu saja berbeda dampaknya ketika harga BBM mengalami kenaikan.
Yang pertama merasakan dampaknya adalah para pelaku transportasi;
baik darat, laut maupun udara; baik sopir becak motor maupun sopir
angkutan umum; baik nelayan maupun pengusaha maskapai penerbangan;
baik transportasi manusia maupun sirkulasi barang dan jasa. Persoalan
harga tiket memang tidak akan pernah menjadi bahan pemikiran serius
bagi pemerintah karena pemerintah tidak pernah membeli tiket,
melainkan selalu mendapat jatah dan gratis apabila hendak menggunakan
angkutan berkelas apa pun dan itu merupakan fasilitas cuma-cuma bagi
pemerintah atas nama kepentingan dinas demi kepentingan banyak orang
dan atas nama relasi serta negosiasi perijinan usaha transportasi.

Imbas kenaikan harga BBM terhadap tarif angkutan umum sebesar 20-25 %
(meski pemerintah menaikkan sampai 15 %) jelas lebih terasa membebani
rakyat daripada para pejabat pemerintahan beserta aparaturnya karena
saban hari rakyat menggunakan angkutan umum. Para pejabat beserta
aparaturnya sudah mendapat kendaraan dinas dan jatah BBM pada saat
hendak bepergian ke mana saja, dan diatur berdasarkan Anggaran
Pendapat dan Belanja Daerah/Nasional, belum lagi jika ada jatah (suap
lagi!) dari pemilik SPBU.

Selanjutnya para pelaku industri, yang menggunakan BBM untuk mesin-
mesin produksi dan memiliki tenaga kerja (karyawan/buruh) dalam
jumlah banyak. Himbauan pemerintah agar pemilik industri tidak
melakukan PHK terhadap karyawan bahkan menaikkan uang makan dan
transportasi bagi karyawan/buruh. merupakan sebuah himbauan semena-
mena.

Diakui atau tidak, untuk membangun sebuah pabrik, calon pemilik
pabrik harus mengeluarkan uang ini-itu untuk birokrasi beserta
pungutan siluman, termasuk sisa saham sekian persen dalam kurun waktu
sekian puluh tahun diperuntukkan kepada beberapa birokrat apabila
calon pemilik pabrik tetap menginginkan pabriknya terbangun dan
berproduksi. Belum lagi jika dalam masa pengoperasian pabrik si
pemilik pabrik harus mengeluarkan uang lagi untuk membayar pungutan
liar atas nama apa saja.

Dari situ bisa dibayangkan, dari mulai perijinan hingga pasca
pengoperasian pabrik berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh
pemilik pabrik, ditambah dengan kenaikan harga BBM dan tuntutan ini-
itu dari pemerintah dan aparat, yang tadi disebut sebagai "himbauan
semena-mena" . Akibatnya, harga hasil produksi pun melonjak.

Belum selesai sampai di situ. Pemilik pabrik akan berhadapan dengan
produk-produk impor yang lebih marak dan murah serta mungkin lebih
bermutu, yang pasti juga mendapat jaminan dari pemerintah melalui bea-
cukai. Persaingan jelas lebih menguntungkan pemerintah beserta
aparaturnya secara materi daripada si pemilik pabrik beserta anak
buahnya!

Disusul oleh kalangan pedagang, termasuk penjual minyak keliling RT-
RT. Melonjaknya harga hasil produksi, masih ditambah dengan biaya
transportasi dan pungutan liar di jalan oleh sekelompok oknum dengan
jaminan kelancaran proses distribusi, jelas akan sampai kepada para
distributor serta pedagang kecil. Ingat, tidak ada bisnis yang "no
profit oriented"!

Sementara itu para pembeli akan lebih berhitung lagi mengenai apa
yang harus dan tidak harus dibeli, dan berapa jumlah optimalnya
karena setiap barang telah mengalami "penyesuaian" harga. Kalau
mayoritas pembeli (konsumen) merupakan pelaku-pelaku pungutan liar
atau tukang palak kelas cere, tidak menjadi masalah
dengan "penyesuaian" harga karena uang begitu mudah diperoleh tanpa
susah-payah bekerja. Tapi bagaimana jika mayoritas pembeli adalah
warga negara yang baik-jujur-sungguh- sungguh bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yang tidak menghalalkan secuil pun pungutan siluman
atas nama "seseran", "sampingan" atau "uang rokok" sedangkan gaji
resminya tidak ikut "menyesuaikan" harga? Bagaimana jika produk
tersebut juga berupa jasa, semisal transportasi (angkutan umum)?

Namun persoalan kenaikan BBM tidak akan menjadi persoalan paling
mengenaskan apabila mayoritas penduduk Republik Munafik ini adalah
orang semacam JK atau Aburizal Bakrie dan sejenisnya. Sayangnya,
orang-orang sekelas kedua nama tadi jumlahnya sangat minoritas di
Republik Munafik ini tetapi diberi kekuasaan penuh untuk menyusun
sekaligus melegalkan kebijakan yang berlaku absolut bagi sekitar 200
juta jiwa!

Lagi-lagi rakyat kembali pada posisi "obyek penderita", "korban"
dan "tumbal pemujaan materi". BLT bukan saja singkatan dari Bantuan
Langsung Tunai melainkan Bantuan Langsung Tewas umpama baru naik
sepeda hibahan tapi segera diseruduk konvoi truk tronton berkecepatan
tinggi yang memuat barang-barang dagangan. Apalagi analisis Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menyebutkan bahwa jumlah
penduduk miskin di Republik Munafik ini pada akhir tahun 2008 akan
melonjak sampai angka 41,1 juta jiwa atau 21,92 % dari total jumlah
penduduk (187,5 juta jiwa) pasca BLT.

Yang berikutnya menjadi pertanyaan, apakah penyaluran BLT sudah tepat-
akurat pada sasaran tanpa embel-embel salah data dan kenakalan oknum
di lapangan. Sebab data jumlah penduduk miskin tahun 2005 belum
merupakan data akurat, dan masih harus dibenahi. Namun data kurang
akurat tersebut masih juga dipakai untuk penyaluran BLT tahun 2008.
bila terjadi "permainan uang", siapa yang harus dipersalahkan sejak
semula?

Himbauan Pemerintah Republik Munafik, "Sudah saatnya kita harus
mengencangkan ikat pinggang", sebenarnya tidak perlu. Rakyat sudah
lama mengencangkan ikat pinggang agar perut tetap terasa kenyang
meski lapar begitu buas mengaduk-aduk perut rakyat. Hanya pejabat
beserta rekanannya yang boleh mengendurkan ikat pinggang karena tidak
pernah merasa kenyang dan sudah tidak mempunyai pinggang. Pinggang
rakyat semakin jelas dan tegas terlihat tapi pemerintah sudah
disilaukan oleh kemilau materi dan jaminan hidup nyaman. Pinggang
pejabat beserta rekanannya sudah tidak jelas, sehingga ikat pinggang
sudah tidak diperlukan lagi, apalagi harus dikencangkan.

Dan tidak ketinggalan dampaknya pada mahasiswa. Kenaikan harga BBM
jelas berimbas pada harga kertas, buku, alat tulis, pakaian, makan-
minum, pondokan, transportasi, dan lain-lain. Kenaikan barang dan
jasa yang biasa dipergunakan kalangan mahasiswa belum tentu telah
diantisipasi oleh kenaikan tunjangan dari orangtua setiap hari atau
bulan. Penambahan tunjangan/kiriman dari orangtua tentu saja
tergantung dari pendapatan orangtua.

Bagaimana jikalau tunjangan/kiriman orangtua tidak ikut naik?
Pertama, berpengaruh pada aktivitas belajar mahasiswa, bahkan membuat
mahasiswa tidak berani menambah wawasan keilmuan karena biayanya
naik. Kedua, mahasiswa terpaksa mengorbankan waktu belajarnya untuk
bekerja. Ketiga, memacu tindakan negatif demi memenuhi kebutuhan
hidup mahasiswa, misalnya kriminal, ditributor narkoba, pelacuran,
dan lain-lain. Keempat, putus kuliah alias Drop Out. Maka bukan
mustahil imbasnya adalah PEMBODOHAN akibat tekanan ekonomi yang
bersumber dari kebijakan pemerintah!

SBY yang pernah kuliah hingga mendapat gelar Doktor, pasti mengerti
soal buku dan kisaran harganya. Sedangkan JK justru cocok
mengembangkan bisnisnya dalam industri buku. Tetapi kalau 95 % jumlah
orangtua mahasiswa di Republik Munafik ini berasal dari golongan
ekonomi sekelas JK, kenaikan BBM tidak akan pernah menjadi persoalan
yang harus dipikirkan hingga terpaksa turun ke jalan untuk memrotes
kebijakan pemerintah!

Sangat disayangkan, SBY bisa menangis gara-gara Ayat-ayat Cinta yang
direkayasa dalam film tetapi tidak pernah mampu menangis atas
penderitaan rakuat di depan matanya! Apalah arti tangisan kepada
cerita rekayasa! Tetapi juga apalah arti tangisan terhadap rakyat
jika pemerintah masih saja tidak sadar bahwa kebijakan yang
digelontorkan itu justru semakin menjak rakyat di jurang kemelaratan
paling dalam!

A. Bantuan Khusus untuk Mahasiswa

Recananya, sebanyak 400.000 mahasiswa dari keluarga miskin akan
mendapat Bantuan Khusus untuk Mahasiswa (BKM) sebesar Rp.500.000,-
per semester. Namun kebijakan ini, suka-tidak suka dan logis-tidak
logis, merupakan sebuah kebijakan superaneh.

Sebuah kebijakan superaneh? O iya! Baru pada tahun 2008 ini ada
kebijakan semacam itu di Republik Munafik ini sejak berdirinya pada
17 Agustus 1945 dan dipimpin oleh 6 presiden. Dan, tahun 2008 ini
merupakan tahun-tahun terakhir bagi SBY-JK menikmati kursi eksekutif
periode 2004-2009 karena menjelang pertengahan 2009 atau satu tahun
lagi akan diadakan PEMILU PILPRES periode 2009-2014.

Kalau tidak keliru, ada dua hal yang masih menjadi pertanyaan, yang
tidak jelas antisipasinya.

1. Beasiswa
Beasiswa, entahkah Supersemar yang ternyata bermasalah, entahkah itu
Supersemprul dari perusahaan-perusaha an, atau apa pun, sesungguhnya
selalu mencapai sasaran yang keliru alias tidak tepat/tidak akurat.
Beasiswa yang sampai ke mahasiswa ternyata sebagian diterima oleh
mahasiswa dari keluarga kaya.

Mengapa beasiswa yang seharusnya bisa membantu mahasiswa (dalam
meningkatkan kecerdasannya tapi dari keluarga tidak mampu) itu bisa
meleset, jatuh ke tangan mahasiswa dari keluarga mampu?

Satu jawaban, terfokus pada nilai indeks prestasi komulatif (IPK).
Mahasiswa dari keluarga kaya sudah tidak susah pada persoalan asupan
nutrisi, fasilitas dan dana meningkatkan kecerdasan. Hal ini tentu
saja sangat tidak aneh jika mahasiswa tersebut bisa mencapai IPK yang
bagus. Berbeda dengan mahasiswa dari keluarga miskin, yang serba
terbatas dan terhimpit persoalan "bertahan hidup lebih baik daripada
nafsu belajar tinggi tapi terkena penyakit mag atau mati kurang gizi".

2. Mahasiswa dari Keluarga Miskin

Meski jumlah rakyat miskin lebih banyak daripada mahasiswa dari
keluarga miskin, tetapi belum ada angka yang pasti dan akurat
mengenai berapa jumlah mahasiswa dari keluarga miskin itu. Angka
400.000 mahasiswa dari keluarga miskin itu pun tidak jelas dari
kriteria apa dan data valid dari mana yang diperoleh oleh pemerintah.

Kalau kategori rakyat/penduduk miskin dicampuradukkan dengan keluarga
miskin, sangat tidak logis. Penduduk miskin dalam batasan BPS berada
pada garis kemiskinan Rp.166.697,- /orang/bulan. Kalau penduduk miskin
disamakan dengan orangtua miskin, mana mungkin satu anaknya bisa
sekolah, jangankan menjadi mahasiswa aktif dan sarjana.

Penduduk miskin tidak sama dengan keluarga miskin. Sekarang, rencana,
BKM sebesar Rp.500.000,- per semester diberikan kepada mahasiswa
kurang mampu. Kriteria "kurang mampu" ini masih kurang jelas. Tiba-
tiba muncul angka 400.000 mahasiswa kurang mampu. Dari mana data itu
diperoleh? Apakah akan tepat sasaran seperti beasiswa lainnya yang
ternyata semakin menyenangkan mahasiswa kaya yang berotak pintar?

B. Kebijakan Terburu-buru dari Reaksioner Pemerintah Kehilangan Muka

Satu pertanyaan esensial, yaitu MENGAPA BARU SEKARANG
digelontorkannya BKM. Ada beberapa dugaan sementara.

1. Terburu-buru
Isu kenaikan harga BBM sudah menjadi wacana intelektual, berkaitan
dengan dampak buruk yang kian memurukkan nasib rakyat pasca maraknya
kerakusan para pengelola daerah dan negara dalam tindakan korupsi.
Lantas, ketika isu menjadi bukti, demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa bukan lagi merupakan reaksi atas bukti (kebijakan). Tapi
rupanya pemerintah kaget (karena terlalu nyenyak dalam fasilitas yang
disantuni oleh APBN, dan keuntungan materi yang diraup selama
memerintah!) .

Kalau orang cerdas biasa mengasah kecerdasannya, dan suatu ketika
kaget atau terbangun dari tidur, intelektualitas tetap berjalan
dengan baik. Tidak demikian dengan si doktor, apalagi si pengusaha
arogan itu. Kedua orang ini kaget dan mengalami kebingungan
(kelinglungan? ). Yang langsung muncul di retina mata mereka adalah
rekaman peristiwa Mei 1998. Jelas sejarah Peristiwa 1998 lebih buruk
daripada mimpi buruk disuntik suster ngesot lalu dikejar-kejar pocong
di terowongan Casablanca.

Sementara itu para pembantunya yang dulunya pandai, kini sedang
mengalami kelumpuhan (stroke) intelektual gara-gara terlalu rakus
melahap kolesterol fasilitas, tunjangan, dan "sumbangan wajib tanpa
kuitansi". Tanpa ada program jelas atau planning cerdas-transparan
ketika kampanye 2004 silam, tiba-tiba langsung mengeluarkan kebijakan
BKM. Kalau memang sudah ada planning, BKM sudah segera diberikan
ketika SBY-JK terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden R.I.
Periode 2004-2009. Tapi mengapa baru sekarang keluar setelah
mahasiswa berteriak dan rakyat menjerit gara-gara hangus terbakar
kenaikan harga BBM?

Hebatnya, di Surat Kabar Seputar Indonesia edisi Kamis, 29 Mei 2008,
seorang botol alias Botak Tolol berani menantang, "Saya tidak takut
dengan demo mahasiswa, saya hanya takut kalau ada demo guru." Apakah
dia memang si tolol yang lupa sejarah 1998, ataukah si tolol yang
berani karena keberanian tanpa logika bisa berarti nekat? Yang jelas,
dia hanya jongos pemerintah. Dalam sejarah, kalau jongos sudah berani
sok keminter terhadap majikannya, bakal di-PHK dia! Jadi, harap
maklum jika ada botol berani berkoar begitu seperti kata
peribahasa, "Botol kosong nyaring bunyinya."

2. Reaksioner
Mahasiswa beraksi, turun ke jalan, berdemonstrasi, dan menolak
kebijakan pemerintah yang tidak peduli pada realitas kemelaratan
bangsa. Aksi tersebut terpaksa direspon oleh pemerintah (reaksioner)
karena pemerintah memang kurang intelek sehingga tidak memikirkan
dampak kebijakan kenaikan BBM cenderung menginjak-injak rakyat yang
sebelumnya sudah terjerumus dalam jurang kemelaratan yang sangat
dalam. Sudah terjerumus di jurang kemelaratan paling dalam, masih
juga diinjak-injak. Jelaslah mahasiswa berteriak bahwa tindakan itu
amat-sangat tidak manusiawi!

Sikap pemerintah Republik Munafik ini memang reaksioner sekali.
Kalangan intelek yang direkrut dalam pemerintahan pun telah mengalami
kelumpuhan (stroke) intelektual karena lebih sering (rakus?)
mengonsumsi kolesterol dalam jumlah sangat tinggi. Sehingga, ketika
pemerintah tidak sanggup melakukan AMDAL karena tidak terbiasa
menggunakan logika tapi terbiasa memakai perintah, kalangan
intelektual hasil rekrutmen itu pun tidak mampu berbuat apa-apa alias
impoten!

Reaksi pemerintah atas aksi mahasiswa itu, salah satunya, dengan BKM
alias Bungkam Kepintaran Mahasiswa. Langkah itu diambil seolah-olah
pemerintah peduli. Padahal pemerintah sedang melakukan langkah lain
untuk membungkam aksi mahasiswa yang tidak bisa dibungkam oleh
peralatan mekanis negara (aparat keamanan). SBY-JK sadar bahwa dua
rezim besar di Indonesia akhirnya tumbang oleh aksi agresif
mahasiswa!

3. Suap
Suap alias sogok adalah tindakan yang tidak intelek dan pengkhianatan
terhadap hati nurani. Apa pun alasan penyuapan, pada intinya si
penyuap memiliki sikap tidak profesional- intelek-bermoral . Sekarang
hal tersebut justru dilakukan pemerintah, dan nama suap itu
diperindah dengan istilah malaikat penolong, "Bantuan Khusus untuk
Mahasiswa".

Apa pun bungkusnya, sepotong bangkai pastiketahuan juga. Bukan
masalah bungkusnya, melainkan sebelum dibungkus, aroma bangkai itu
sudah semerbak ke seluruh penjuru tanah air. Rakyat menjerit,
mahasiswa teriak. Tapi, aroma sudah semerbak dan menyesakkan dada,
barulah dibungkus, dan diberikan kepada mahasiswa. Dan benda itu
dipaksakan pula untuk ditelan bulat-bulat oleh mahasiswa. Ironisnya,
kalangan pendidikan tinggi harus memakluminya. "Makan nih, jangan
berteriak lagi, ya, Adik manis," begitu kira-kira bujukan pemerintah.
Bah! Pemerintah macam apa ini! Pendidikan tinggi macam apa pula itu!

Mahasiswa paham bahwa BKM identik dengan suap atau juga upaya untuk
membungkam mahasiswa. Dan malangnya, karena seorang jongos harus
tuunduk pada perintah atasan meski disuruh makan bangkai sekalipun,
sang menteri botol (botak tolol) ikut menyerahkan bungkusan itu
kepada mahasiswa dengan catatan "mahasiswa dari keluarga kurang
mampu" supaya bisa juga dipergunakan untuk membujuk orangtua mereka
yang menangis pilu akibat tekanan ekonomi nasional.

4. Bisnis Simpati demi Mendapat Muka
Berita tentang gizi buruk, nasi aking, bunuh diri akibat himpitan
ekonomi, tidak adanya perbaikan pangan nasional, melonjaknya angka
kemiskinan dan pengangguran, dan kini ditambah lagi kenaikan harga
BBM akibat kalah bersaing (kurang modal atau tidak mampu
bernegosiasi? ) di pasar dunia, mengakibatkan pemerintah Republik
Munafik yang dijalankan oleh seorang doktor dan pengusaha itu semakin
kehilangan muka di depan rakyatnya sendiri.

Karena semakin kehilangan muka, kedua orang itu menginginkan muka
mereka kembali atau mungkin mendapat "muka baru". Maka dilakukanlah
bisnis simpati dengan nama BKM. BKM seolah-olah ungkapan kepedulian
(simpati) pemerintah terhadap beban ekonomi mahasiswa. Dengan
demikian, muka pemerintah bisa kembali terpasang sebagaimana
posisinya dulu.

Akan tetapi doktor yang tidak kualified di bidangnya, dan pengusaha
yang tidak mampu memakmurkan bangsanya dalam penggelontoran kebijakan
berisiko tinggi semacam menaikkan harga BBM bulan Mei 2008 itu justru
dilihat mahasiswa sebagai hasil ketidakcerdasan (mungkin idiot?)
pemerintah. Mahasiswa tidak perlu susah-susah meneliti kebijakan
paling sepele itu. Bahkan bisa jadi, mahasiswa menyerahkan
perhitungan dengan cara pembagian, perkalian dan perkaliantersebut ke
murid SD kelas 6.

Tentu saja SBY-JK tidak sudi kehilangan muka lantaran perhitungan
kebijakan tersebut hanya menjadi soal matematika siswa kelas 6 SD.
Mosok sih hasil pemikiran seorang doktor hanya pantas dihitung ulang
oleh siswa kelas 6 SD? Mosok sih hasil berhitung seorang pengusaha
masih terlalu mudah dikerjakan oleh siswa kelas 6 SD? Mbok yao Adik-
adik mahasiswa bisa menghargai hasil berpikir dan berhitung
pemerintah.

Maka disusunlah anggaran khusus untuk menyelewengkan konsentrasi
mahasiswa dalam sikap solidaritas berbangsa-bertanah air, atau
istilah jalanannya "Duit Damai". Damai sama dengan duit (D = D).
Selanjutnya, seolah hendak memamerkan bahwa pemerintah tetap peduli
terhadap kesusahan hidup mahasiswa, digadailah simpati seharga
Rp.500.000,- per semester yang berlaku sampai SBY-JK tidak duduk di
pemerintahan lagi.

Penanganan persoalan akibat kenaokan harga BBM tidak semudah
membalikkan telapak tangan lalu terlihat bukti penberian jatah BKM
dari Depatemen Pendidikan atasnama Presiden R.I. lengkap dengan kops
negara dan tanda tangan menteri. Mahasiswa dan publik yang kritis
pasti menemukan kejanggalan itu semakin nyata, lantas
bertanya, "Mengapa baru sekarang di saat angka kemiskinan kian
melonjak ditambah beban kenaikan harga BBM?"

C. Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP) dalam Rencana Selanjutnya

Janji-janji soal gratisisasi biaya pendidikan tidak lebih dari
pepesan kosong yang pernah dilahap oleh para pemilih idiot dalam
kampanye PILPRES 2004 silam. Orang-orang berotak rata-rata (tidak
perlu harus cerdas) saja pasti bisa berhitung, berapa sih anggran
pemerintah Republik Munafik ini untuk merealisasikan janji pendidikan
gratis yang dikoar-koarkan oleh tim sukses CAPRES? Tinggal
menggunakan cara perhitungan SD atau SMP, sudah bisa menemukan
hasilnya, yang ternyata PEPESAN KOSONG!

Beasiswa untuk pelajar, program BOS dan entah apa lagi, ternyata
tidak pernah menepati janji pemerintah ketika mereka dan tim
suksesnya dulu berkampanye ke daerah-daerah. Sekali lagi, PEPESAN
KOSONG !

Tiba-tiba sekarang ada BKM, Bantuan Khusus untuk Mahasiswa. Apakah di
Republik Munafik ini jumlah mahasiswa lebih banyak daripada jumlah
pelajar? Apakah cukup mahasiswa saja yang perlu dibantu oleh
pemerintah? Apakah lantaran cuma mahasiswa yang berteriak, turun ke
jalan? Apakah cuma mahasiswa yang mampu melakukan itu?

Nah! Pemerintah SBY-JK pasti akan semakin bingung jika siswa SD, SMP
dan SMA serta SMK pun berdemonstrasi sebagai solidaritas kaum
terpelajar tanpa sekat jenjang pendidikan, khususnya para pelajar
yang sejak SD sudah mengerti jerih-payah orangtua mereka dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga terlebih akibat kenaikan BBM
terhadap sebagian besar harga barang dan jasa. Mungkin para pelajar
itu disponsori langsung oleh orangtua mereka, yang memang sudah
kepayahan menghadapi tekanan ekonomi yang tidak mampu diantisipasi
oleh pemerintah Republik Munafik ini.

Apakah kemudian pemerintah akan melakukan rapat mendadak untuk
memberikan Bantuan Khusus untuk Pelajar (BKP)? Beginilah akibatnya
jika Republik Munafik dipimpin oleh seorang doktor yang kurang
kredibel dan pengusaha yang hanya melulu mencari untung pribadi
semata!

***
Rawabuaya, 29 Mei 2008

*) ditulis oleh mantan mahasiswa yang kini menjadi kader GOLPUT